Polinema - Kenduri Kebudayaan Bertajuk Refleksi Kepemimpinan Masa Depan

Kenduri Kebudayaan - Politeknik Negri Malang
Entah ada jodoh apa aku dengan orang-orang ini. Setelah memutuskan untuk menetap di Malang karena pertimbangan kesehatan (cerita sebelumnya: Berada di Puncak Stress Membuatku Terdampar di Malang)
, sore harinya aku bersama spupuku, +Anggar Nur Herman Syah, jalan-jalan ke Malang Town Square. Acara Kenduri Kebudayaan di Polinema masih dilaksanakn pukul 20.00, jadi dari pada bengong nganggur kami jalan-jalan saja mencari yang ‘segar-segar’. Berputar satu kali dan meskipun disana terdapat suatu acara (aku lupa nama acaranya) yang membahas tentang IT, Matos sepi pengunjung. Kami pun tak tertarik dengan acara IT tersebut, mau ke foodcourt juga kami tak tertarik, karena dompet kami, terutama dompetku, juga sepi pengunjung. Jangankan Soekarno-Hatta, I Gusti Ngurah Rai dan Otto Iskandardinata pun tak mau mampir lama di dompetku. Hanya mampir sejenak lalu pergi lagi. Dompetku hanya dihuni beberapa orang Kapiten Patimura, Pangeran Antasari, dan Tuanku Imam Bonjol yang ditemani taburan bunga melati serta beberapa ekor kakak tua raja. Setelah menyapa orang-orang yang bersemayam sedih di dompetku, aku pun melirik sebuah toko buku dan memutuskan untuk sekedar menyapa beberapa penulis hebat lewat bukunya disana. Ada sebuah buku yang menyapaku mesra, ingin sekali ku bawa pulang. Buku itu berjudul Komunikasi ala Punakawan dan Abu Nawas oleh Prof. Sam Abede Pareno, M. M., M. H,. Sayang sekali label harganya menyapa galak padaku. Dengan agak sinis dia menanyakan keberadaan I Gusti Ngurah Rai di dompetku. Dengan rasa penasaran siapakah Punakawan dan apa isi buki tersebut (kalau Abu Nawas aku tau, siapa sih yang gak tau Abu Nawas?), aku dan spupuku pulang untuk mempersiapkan diri menghadiri Kenduri Kebudayaan di Polinema.

14 November 2013 - Politeknik Negri Malang. Kenduri Kebudayaan bertajuk Refleksi Kepemimpinan Masa Depan. Menurut Cak Nun pola fikir kita harus seperti ini: masa kini, masa depan, kemudian masa lalu. Percaya atau tidak, Cak Nun meminta kita untuk mencermati waktu kita sedang nakal atau bolos sekolah. Orang tua kita pasti akan mengatakan:
“Kamu ini sekarang udah suka bolos, juga nakal. Mau jadi apa kamu nanti!? Orang tuamu dulu sekolah tidak ada fasilitas seperti sekarang ini, susah, bla… bla… bla…”
Apa yang terjadi sekarang direfleksikan ke masa depan kemudian mencari teladan dari masa lalu. Seuai dengan ajaran Nabi Khidzir yaitu metode ilmu waktu. Kita berpijak sekarang, melihat kedepan, dan supaya tidak salah takaran kedepan kita harus menengok dulu kebelakang. Kenduri kebudayaan kali ini mempelajari teladan kepemimpinan Sunan Kalijaga dan Semar sebagai refleksi kepemimpinan masa depan.

Ada 3 narasumber, Bapak Fadholi, Bapak Muhamad Sina, dan Bapak Halid Hasan. Sebelum Cak Nun mempersilahkan para narasumber mengisi dengan wawasan kepemimpinan dari Sunan Kalijaga dan Semar, beliau men-do'ak-an sekaligus memberi motivasi kami yang hadir. "Mudah-mudahan anda semua nanti beberapa tahun lagi bisa bekerja di perusahaan-perusahaan riil, dimana Indonesia mengalami kebangkitan-kebangkitan yang meneruskan kebesaran kita dimasa silam. Di Madiun ada pabrik kereta, di Bandung ada pabrik senjata, tapi selama ini dikebiri oleh kekuatan-kekuatan Internasional. Sebenarnya Indonesia punya kemampuan luar biasa dari segi modal, SDM-nya apa lagi, punya kemampuan luar biasa. Suatu hari Indonesia akan menjadi produsen tidak hanya menjadi konsumen seperti sekarang. Memalukan bahwa anda sekarang mengkonsumsi produk-produk dari Korea, dari Jepang dan lain sebagainya padahal anda lebih handal, anda lebih memiliki modal sesungguhnya.".

Kemudian Cak Nun mempersilahkan Pak Fadholi mengisi materi pertama kali. Pak Fadholi memberikan materi tentang Sunan Kalijaga. "Sunan Kalijaga selain seorang wali, beliau juga memiliki sebuah keahlian sebagai seorang dalang. Beliau mampu menterjemahkan nilai-nilai agama dalam kerangka ke-Indonesia-an dan ke-Jawa-an. Artinya Jawa di-Islamkan bukan Islam di-Jawakan. Dalang berasal dari bahasa Arab yang berarti petunjuk/jalan. Sunan Kalijaga sebagai seorang pemimpin mampu menunjukkan sebuah jalan kehidupan umat manusia kedepan. Jadi seorang pemimpin itu harus menjadi seorang pencerah kedepan. Mencerahkan batin, mencerahkan pikiran, sehingga masyarakat mengalami sebuah kedamaian-kedamaian, jauh dari konflik-konflik pribadi, konflik keluarga, konflik horisontal, maupun konflik vertikal. Sunan Kalijaga juga mampu menterjemahkan nilai-nilai dalam kerangka budaya. Beliau berdakwah secara kemasyarakatan yaitu dakwah budaya. Orang Jawa dibawa ke purbahan-perubahan yang cepat tapi mereka tidak terasa. Masih banyak yang bisa kita refleksikan menuju kepemimpinan di masa depan dari Sunan Kalijaga.", begitu penjelasan dari Bapak Fadholi.

Materi selanjutnya diisi oleh Bapak Muhamad Sina. "Melihat pada Sunan Kalijaga dan Kyai Semar, kedua tokoh ini tidak hanya punya otak, tapi punya hati. Kalau direfleksikan pada pemimpin-pemimpin yang sekarang itu, mereka bisa jadi punya kedua-duanya atau punya hanya salah satunya atau bahkan tidak punya keduanya. Selanjutnya yang bisa dilihat dari kedua tokoh tersebut adalah keduanya merupakan tokoh yang berani. Berani melakukan hal-hal yang sifatnya bersih, bersih diri, lahir dan batin. Berani untuk jujur dan berani untuk adil. Yang dapat disimpulkan dari kepemimpinan kedua tokoh tersebut adalah ternyata seseorang untuk bisa punya pengaruh terhadap orang lain itu tidak harus menjadi pemimpin. Artinya kalau seseorang itu punya hati dan otak, kemudian bersih, jujur, dan adil, InsyaAllah  walaupun orang itu tidak menjadi pemimpin dalam suatu negara, pengaruhnya akan besar terhadap kehidupan bangsa dan negara ini.", begitu ujar Bapak Muhamad Sina.

Agar ada gejolak pemikiran yang lebih pragmatis dan faktual, Cak Nun meminta Bapak Khalid Hasan untuk memberikan materi tentang konflik kepemimpinan nasional. Menurut Pak Khalid, "Kita  sebagai rakyat dari bangsa ini mestinya harus lebih banyak belajar dari pengalaman kepemimpinan di masa lalu. Tentu saja pelajaran yang kita lalui adalah pembelajaran yang komperhensif tentang karakter-karakter atau sifat-sifat pemimpin di masa lalu. Namun terkadang kita terbawa oleh suasana pembelajaran yang salah. Dipengaruhi oleh partai-partai tertentu dan sebagainya. Mestinya kita harus lebih banyak mengeksplorasi diri dulu. Sehingga ukuran-ukuran yang kita gunakan merupakan ukuran kita, sesuai kemampuan kita.".

Cak Nun mengundang 3 orang untuk menanggapi atau bertanya sesuai tema yaitu Refleksi Kepemimpinan Masa Depan. Ternyata yang diminta 3 orang, tapi yang maju 8 orang. Niatan untuk maju menyusup wurung sudah, karena sudah banyak. Ada 8 orang, kalau aku review satu persatu artikel ini bisa terlalu panjang, yang baca bisa ngantuk, bosan dan pergi sebelum selesai membaca. Jadi aku rangkum saja. Tapi ada satu penanya yang menggelitik hatiku untuk mengabadikan komentarnya dalam artikel ini. Aku lupa siapa namanya, tapi yang jelas dia adalah Mahasiswi Pasca Sarjana Universitas Negri Malang yang ikut hadir dalam acara tersebut.

"Saya sebenarnya kasian pada anggota DPR, karena selalu dicaci maki. Dibilang tidak mewakili rakyat, tidak bisa mewakili aspirasi rakyat. Loh siapa bilang seperti itu!? Kita justru harus berterimakasih pada mereka, karena mereka sudah mewakili kita. Kita ingin kaya, mereka yang mewakili. Kita ingin punya mobil bagus, mereka yang mewakili. Kita ingin jalan-jalan keluar negri, mereka yang mewakili."
Bener-bener komentar yang bagus. Tidak menghina, tapi menusuk. Ditengah acara Cak Nun bertanya, "Mungkinkah ada pemimpin sejati lahir dari parpol-parpol yang ada di Indonesia?". Penonton menjawab "Mungkin". Cak Nun bertanya lagi, "Jika partai A hancur apa yang dirasakan oleh partai B? Senang atau sedih?". Penonton menjawab, "Senang". Cak Nun melanjutkan bertanya, "Bagaimana jika sebaliknya? atau mungkin yang hancur partai C atau D?". Penonton menjawab, "Senang". Cak Nun kemudian berkata, "Loh ada teman seperjuangannya hancur kok malah senang? Bagaimana bisa kita mengharap seorang pemimpin dari kelompok yang seperti ini?". Dapat disimpulkan bukan jawabannya apa?

Cak Nun memberikan kami pengetahuan kecil tentang perwayangan. Semar yang memliki nama lain Semoro Bumi atau Punakawan (waktu Cak Nun mengatakan ini, aku baru ngeh kalau Punakawan adalah Semar, jadi pertanyaanku tetang buku itu sudah sedikit terjawab dan malah semakin pengen membaca secara lengkap), merupakan tokoh tambahan dalam perwayangan mahabarata dan ramayanta. Ada Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Sunan Kalijaga membuat sebuah lingkaran demokratik dalam pewayangan dengan membikin tokoh Semar. Dalam perwayangan ada 3 tingkatan yaitu dewa, satria, dan manusia. Semar sendiri adalah seorang dusun tapi dia juga merupakan puncaknya para dewa. Bayangkan saja, seutas tali. Ujung satunya mewakilkan para dewa, dan ujung yang lain mewakilkan manusia. Jika kedua ujung disatukan, maka tali akan menjadi melingkar, itulah simbol atau lambang demokrasi.

Gambaran Seorang Semar
Jadi Semar itu adalah tokoh fiktif yang digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk menggambarkan suatu nilai-nilai tertentu melalui kesenian wayang. Tapi ada teori lain, Semar atau yang dulu bernama Semoro Bumi merupakan pemimpin makhluk yang menghuni bumi sebelum manusia.

Menurut Cak Nun, di Nusantara ini tidak ada manusia "besar" setelah Rasulullah selain Sunan Kalijaga. Kenapa? Sunan Kalijaga ndalang dan berdakwah keliling itu sekedar untuk menciptakan infrastruktur berfikir dan budaya rakyat saat itu. Yang beliau lakukan yang utama bukan berdakwah, tapi mengatur politik nasional. Itu semua adalah strategi yang dihasilkan oleh cara Sunan Kalijaga mendamaikan semua kelompok-kelompok yang ada. Karena pada waktu itu sudah ada konflik tidak hanya antar nasab (turunan). Mari kita pelajari kembali cara Sunan Kalijaga mengatur Indonesia pada waktu itu, kalau bisa diterapkan sedikit-sedikit pada era sekarang ini.

Masih kata Cak Nun, ada banyak teori yang menjelaskan tentang pemimpin. Salah satunya yang ada pada suatu sholat azizun alaihi ma anittum, pemimpin itu orang yang hatinya berat bila hatimu sedih. Jika kita merujuk pada tauladan Sunan Kalijaga dan Semar, mereka itu sebenarnya tidak pernah menjadi pemimpin formal. Pemimpin yang bagus itu adalah orang yang tidak ingin jadi pemimpin. Pemimpin sebenarnya tidak mengajukan diri, tapi ditunjuk. Berbeda dengan pemimpin sekarang yang semua orang berebut mengajukan diri menjadi pemimpin.

Seperti yang dikatakan Bapak Muhamad Sina, pemimpin itu harus mempunyai otak dan hati. Menurut Cak Nun, hal ini selaras dengan penciptaan Nabi Adam dahulu. Allah menciptakan Nabi Adam dengan menhidupkan akalnya terlebih dahulu, kemudian hatinya, dan yang terakhir adalah syahwatnya. Akal manusia sangat terbatas, kita memikirkan dan menghitung sesuatu sangat terbatas. Berbeda dengan hati yang luas tidak terbatas. Semua keinginan dan kemauan hati memuai tanpa batas, sehingga akal ada untuk membatasi keinginan hati. Kalau 2 yang atas (baca: akal dan hati) tidak bekerja, maka yang akan menang yang bawah. Yang lebih tidak terbatas lagi adalah syahwat. Syahwat disini bukan sekedar masalah s*ks, tapi segala sesuatu yang sifatnya tidak terbatas tapi negatif. Seperti misalnya ingin harta sebanyak-banyaknya dan ingin menjabat sepanjang-panjangnya.

Bapak Fadholi menyimpulkan pertama kita semua yang hadir dalam acara hari ini, pulang nangi harus mulai meyakinkan pada diri kita bahwa kita adalah pemimpin untuk diri kita sendiri. Kedua pemimpin masa depan adalah pemimpin yang tau diri, tau diri akan kemampuannya. Kebanyakan dalam kehidupan kita akhir-akhir ini, orang itu tidak pantas jadi pemimpin tapi didorong-dorong menjadi pemimpin. Poinnya adalah tau diri adalah hal yang sangat penting. Ketiga, Sunan Kalijaga dan Semar adalah seorang yang ahli strategi dalam dinamika ke-Indonesia-an, sesungguhnya Sunan Kalijaga telah meletakkan dasar-dasar yang luar biasa dalam tanah air kita. Pemimpin kedepan adalah seorang yang mampu mengembangkan kebijakan-kebijakan yang mengambil kearifan lokal. Artinya dia tau betul tentang problem-problem rakyatnya dan mampu menyelesaikannya sesuai sudut pandang masyarakat.

Seperti pada Pagelaran Kyai Kanjeng Pada Festival Tegal Boto 2013 Universitas Jember 5 November 2013 kemarin, Cak Nun meminta yang hadir agar sehat dengan menjaga pola makan. Bukan dokter atau alat apapun yang mendeteksi penyakit dalam tubuh kita, tapi mulut kita. Mulut kita harus bisa mendeteksi makanan mana yang baik atau buruk bagi tubuh kita. Jadikan pekerjaan yang kita lakukan sekarang adalah istirahat dari pekerjaan kita sebelumnya. Misalnya, kita bekerja capek kemudian sholat. Sholat merupakan istirahat dari pekerjaan kita sebelumnya. Kita kembali bekerja lalu capek lagi kemudian kita membaca buku. Membaca buku adalah istirahat dari pekerjaan sebelumnya. Semuanya istirahat tapi semuanya kreatif. Istilahnya setiap rekreasi harus kreatif, setiap kreasi harus kreatif. Jadi kita tetap untung terus.

Barrakallahu...
Semoga bermanfaat.

12 komentar untuk "Polinema - Kenduri Kebudayaan Bertajuk Refleksi Kepemimpinan Masa Depan"

  1. komentar si mahasiswi itu keren mas. pasti seru yaa bisa ikut hadir disana, jadi tambah pengetahuan dan informasi. jadi kangen, dah lama gk ikut acara serupa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kemarin tanggal 21 November ada acara serupa di Parangtritis mbak...

      Hapus
  2. asyik itu kayaknya mas tapi sayang saya gak tahu ada acaa itu padahal saya kuliah dimalaang

    BalasHapus
  3. wueh, itu serius cak nun beneran yang hadir?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Beneran dong, masa boong-boongan... Kemarin kan di Unej hadir juga :D

      Hapus
  4. Wiih ini yg ditunggu-tunggu, trnyata jd ke maiyahan ya, gmna nasib job fairnya ? :D

    BalasHapus
  5. ada cak nun jugaa? wiiiihhhh pasti seru acaranya. apalagi topiknya soal refleksi kehidupan masa depan gitu. main imajinasi banget :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gak main imajinasi lah, kan merujuk tauladan dari kepemimpinan Kyai Semar dan Sunan Kalijaga

      Hapus
  6. nice info . . .
    salam kenall . . .
    mampir diblog q ya mass . . .

    BalasHapus